
Banyak yang menganggap, prilaku remaja, termasuk pelajar akhir-akhir ini bukan lagi bentuk kenakalan, tapi sudah menjurus kriminal. Terlebih lagi, mereka kerap menggunakan senjata tajam dalam aksi-aksinya. Sopir-sopir angkutan umum, boleh jadi adalah pihak yang paling sering merasakan dampak tindakan mereka.
Banyak yang menuding, prilaku destruktif remaja ini erat kaitannya dengan model pendidikan saat ini, yang cenderung mengedepankan nilai akademik, ketimbang penanaman budi pekerti. Kegiatan ekstra kurikulerpun dianggap kurang menarik sehinga banyak siswa remaja yang lebih memilih menghabiskan waktu di luar, di mana mereka bertemu dengan situasi dan lingkungan yang tidak terkontrol dan mendukung perkembangan jiwa muda mereka.

Prilaku jalanan geng motor, sebenarnya bukan hal baru, apalagi bagi masyarakat Kota Bandung. Aksi main kebut dan cenderung brutal, sudah ada sejak 10 bahkan belasan tahun yang lalu. Tindakan mereka memang kerap meresahkan. Tidak jelas mengapa, aksi mereka yang beberapa tahun sempat meredup, kini muncul lagi, dan melakukan tindakan lagi-lagi
meresahkan, bahkan makin memprihatinkan, karena aksi mereka dibarengi minum-minuman alkohol.
Bandung. Dari dulu memang akrab dengan aksi balapan motor. Di kota ini minat anak-anak muda pada balapan memang sangat tinggi. Jangan heran, dari kota ini, lahir beberapa nama pembalap handal.

Klub-klub motor itu umumnya didirikan oleh para mantan pembalap, atau setidaknya yang senang balap motor. Moonraker misalnya, lahir tahun 1978. Nama Moonraker diambil dari judul film James Bond di tahun itu. Bendera mereka berwarna merah-putih-biru dengan logo kelelawar. Awalnya anggota cuma segelintir tapi lama kelamaan terus bertambah, bahkan kini, konon, mencapai ribuan orang. Mereka bahkan memiliki cabang di beberapa daerah di Jawa Barat, seperti Cirebon, Tasikmalaya dengan berpusat di Bandung.

Sayang, dalam perkembangannya, aksi-aksi balap mereka kerap dituding berlebihan dan meresahkan, bahkan kemudian mendapat sebutan sebagai geng, geng motor, yang tentu saja berkonotasi negatif. Untuk masuk menjadi anggota, mereka memiliki ritual sendiri, dengan mengambil tempat jauh dari keramaian.
Adalah aparat kepolisianlah yang akhirnya sering dibuat repot, terlebih dalam aksinya mereka kerap kedapatan dalam keadaan mabuk. berbagai razia dilakukan, dan hasilnya, tidak saja didapati banyak dari kendaraan motor mereka yang tidak dilengkapi surat-menyurat, tapi juga kerap didapati senjata tajam. antar anggota geng, kadang kerap juga terlibat bentrok.
Tindakan anggota geng motor, tidak saja meresahkan masyarakat tapi juga merugikan klub-klub motor lain yang merasa tidak terlibat dalam aksi negatif. Prilaku para remaja ini, tentu saja sangat mengkhawatirkan, karena sebagai generasi muda, merekalah yang kelak diharapkan menjadi penerus, pemilik masa depan bangsa ini.

Tak mudah menghentikan aksi para remaja di jalanan ini, baik dalam bentuk kebut-kebutan seperti geng motor maupun aksi tawuran yang kerap terjadi di kota-kota besar. Terbukti, aksi-aksi tegas yang coba dilakukan petugas kepolisian, tidak menghentikan prilaku destruktif itu. Tawuran tetap saja terjadi dan kebut-kebutan masih saja dilakukan.
Karena keberadaan mereka, tidak semata soal kegemaran membalap motor, tapi terkait banyak hal. Salah satunya, menurut Dadang S, seorang kriminolog, ekspresi para remaja itu mencari perhatian dan pengakuan. Boleh jadi hal itu karena tidak mereka dapatkan di rumah. Dadang mengambil contoh perkelahian para anggota geng motor di arena balap.
Senada dengan Dadang, pakar pendidikan Arief Rahman menilai maraknya prilaku remaja tersebut tidak lepas dari minimnya sarana yang bisa menyalurkan bakat mereka di sekolah. Sekolah, menurutnya, harus bisa menyalurkan bakat dan kemampuan muridnya, agar sang murid tidak menghabiskan waktu di luar, apalagi di jalanan.
Baik Dadang maupun Arief melihat, memecahkan masalah ini bukan semata tugas orang tua dan lembaga pendidikan, karena bagaimanapun ini terkait dengan kebijakan, di satu sisi, dan ekspos media di sisi lain.
Kita memang tak semestinya saling menyalahkan, karena semua ini kesalahan kita bersama, kesalahan kita sebagai bangsa yang mengaku beradab. Kita harus mengambil langkah, tidak mesti dengan menghukum, tapi tepatnya memberi pengarahan. Karena bagaimanapun, suka tidak suka, merekalah generasi penerus, pelaku masa depan.
Ya, adalah tanggung jawab kita semua untuk memikirkan jalan keluar masalah ini. Baik kalangan orang tua, lembaga pendidikan dan juga lingkungan pergaulan. Karena sekali lagi, keseimbangan menjadi kunci dari kehidupan kita sebagai bangsa yang beradab.(Firdaus Masrun/Ijs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar